KESEHATAN

Ingin tahu 5 kunci gaya hidup sehat?

1. Makan banyak buah buahan, sayuran dan padi-padian yang kaya vitamin, mineral, serat dan antioksidan.

2. Batasi asupan lemak, khususnya lemak jenuh, diet rendah lemak, kurangi konsumsi daging merah.

3. Konsumsi menu dengan gizi seimbang dan beragam. Vitamin B6, kalsium, asam folat dan magnesium. Kalsium dapat diperoleh dari susu rendah lemak dan produk olahannya, udang, tahu, sardin. Magnesium dari kacang-kacangan, sayuran hijau, polong-polongan. Asam folat merupakan bentuk sintetis dari vitamin B9 bisa didapat dari sayuran hijau, seperti bayam dan selada, brokoli, melon, pisang, jeruk juga dari roti dan sereal yang difortifikasi (diperkaya) dengan asam folat.

4. Tinggalkan alkohol dan berhenti merokok.

5. Jaga berat badan normal dan olah raga secara teratur. Olah raga 30 menit sehari 4-5 seminggu misalnya jalan kaki dan joging.

Bahaya Pola Pikir Negatif

Bahaya Negatif Thinking
Negative thinking adalah pola atau cara berpikir yang lebih condong pada sisi-sisi negatif dibanding sisi positifnya. Pola pikir ini bisa tampak dari keyakinan atau pandangan yang terucap, cara seseorang bersikap, dan perilaku sehari-hari. Karena sisi negatif lebih dominan, tak mengherankan jika cara pikir ini dipenuhi oleh sikap apriori, prasangka, ketidakpercayaan, kecurigaan, dan kesangsian, yang seringkali tanpa dasar atau tanpa nalar sama sekali.

Pola pikir negatif juga tampak dari cara seseorang memandang atau merespon persoalan, yang seringkali mengabaikan rasionalitas, logika, fakta, atau informasi yang relevan. Sungguh pun begitu, rasionalitas juga bisa terjerumus dalam kerangka berpikir negatif. Artinya, seseorang secara sadar bisa memanfaatkan rasionalitas, logika, dan kecakapan berpikirnya untuk memandang suatu persoalan secara negatif. Hal semacam ini bisa didapati dalam kritik-kritik yang sifatnya bertujuan untuk menjatuhkan lawan atau mempermalukan sasaran tembak tertentu.

Apa penyebab pola pikir semacam ini? Negative thinking disebabkan oleh konstruksi persepsi kita berdasarkan atas sistem keyakinan, cara pandang (paradigma), atau cara kita memahami suatu persoalan. Karena pola pikir ini sifatnya paradigmatis, maka setiap data, fakta, atau informasi akan kita persepsi sesuai dengan paradigma yang kita anut. Jika paradigmanya bersifat konflik, maka yang muncul adalah persepsi-persepsi konfliktual, baik ofensif maupun defensif. Sementara jika paradigmanya adalah harmoni, maka persepsi-persepsi yang dominan pun sifatnya lebih harmonis, menyatukan, mensintesis, dan antikonflik.

Dalam diri semua orang, terkandung sesuatu yang oleh ahli psikologi disebut self defense mechanism, yaitu suatu kecenderungan untuk mempertahankan diri dari apa yang kita persepsikan sebagai sesuatu yang menyerang atau berpotensi menghalangi tercapainya keinginan kita. Salah satu pilihan mempertahankan diri itu adalah dengan bersikap ofensif atau menyerang balik si pengancam. Tendensi tersebut mudah ditemui dalam pergaulan umumnya. Dampak buruk dari mudahnya kita berpikir negatif adalah sulitnya kita menerima pendapat orang lain, sulit menerima hal baru, sulit bersosialisasi, dan sering muncul sebagai pribadi yang kurang menarik untuk diajak kerjasama.

Internal
Pola berpikir negatif, tidak semata-mata tertuju pada dunia luar. Negatifisme juga bekerja secara internal atau menyerang diri kita sendiri. Ini bisa tampak dari keyakinan, persepsi diri, atau cara pandang kita terhadap diri sendiri sehingga memunculkan citra diri negatif. Contoh; memandang diri sendiri sebagai tidak berbakat, memiliki banyak kelemahan, terbelakang secara mental, atau bernasib kurang beruntung.

Citra diri negatif bukanlah sebentuk persepsi diri yang terbentuk dalam sekejap. Persepsi ini muncul dan tertanam sedikit demi sedikit, terakumulasi berdasarkan jenis-jenis peristiwa atau pengalaman hidup yang kita alami. Misalnya, dalam sebuah kesempatan kita mengalami perlakuan yang kurang sopan dari seseorang. Pada kesempatan lain, kembali kita diperlakukan secara buruk oleh pihak lain. Lalu dalam jangka waktu yang agak lama berselang, ternyata kita kembali mendapat perlakuan tidak seperti yang kita harapkan. Maka, kemudian muncul pertanyaan dalam diri kita, “Apakah saya memang pantas mendapat perlakuan seperti ini?” Lalu, sedikit demi sedikit muncul persepsi bahwa hidup kita memang kurang beruntung. Persepsi sekilas itu bisa menjadi permanen jika frekuensi terjadinya peristiwa-peristiwa yang mendasarinya itu sering berulang.

Citra diri negatif ini dampaknya bisa jauh lebih buruk dibanding negatifisme yang berorientasi ke dunia luar. Citra diri negatif menjadi sumber dari sikap-sikap, perilaku, dan kebiasaan-kebiasaan negatif lainnya, yang pada akhirnya membuat kita menjadi pribadi yang sangat tidak efektif dan sulit berkembang ke arah yang lebih baik.

Ambil contoh persepsi diri tidak memiliki bakat. Persepsi ini bisa berbuntut pada kecenderungan kita untuk tidak mau menggali bakat-bakat terpendam kita. Bahkan kita cenderung mengingkari keberadaan bakat-bakat terpendam tadi, dan akhirnya membuat kita malas mengasah bakat atau enggan meningkatkan ketrampilan kita. Dari anggapan yang keliru inilah proses pengembangan diri kita terhambat. Kita bisa jauh lebih sulit berkembang jika persepsi ini mengkristal menjadi sebuah keyakinan yang mempengaruhi cara pandang kita terhadap diri sendiri.

Hal yang sama terjadi jika citra diri kita negatif gara-gara persepsi bahwa diri kita dipenuhi oleh banyak kelemahan. Sebut misalnya, merasa diri cacat, tidak cantik atau tidak tampan, kepribadian kurang menarik, IQ rendah, tidak mahir berkomunikasi, mudah emosi, mudah menyerah, tulalit, dan segala macam kekurangan diri lainnya. Dampak dari persepsi diri negatif tersebut adalah perasaan rendah diri yang begitu mendalam sehingga membatasi langkah kita serta makin mempersulit efektifitas hidup kita. Jika citra diri negatif ini kita biarkan berkembang biak dan membelenggu cara berpikir kita, maka kehidupan pribadi dan sosial kita bisa benar-benar hancur.

Citra diri negatif tidak terbentuk secara otomatis atau sama sekali di luar kontrol kita. Citra diri dihasilkan oleh persepsi, dan persepsi merupakan pekerjaan pikiran. Maka sepanjang itu merupakan aktivitas atau proses pikiran yang kita sadari, sesungguhnya kita memiliki kendali sepenuhnya atas mekanisme atau cara bekerjanya. Dengan kata lain, pikiran kita jika kita menginginkannya berhak dan bisa diarahkan ke persepsi yang lebih positif. Kita bisa membentuk suatu kebiasaan tertentu kebiasaan berpikir, memandang masalah, merespon persoalan, atau bersikap yang outputnya semata-mata positif sifatnya. Dengan demikian, memperbaiki cara berpikir dan paradigma kita menjadi langkah pertama untuk menghilangkan negative thinking